
Voxindo.id- Gelombang unjuk rasa yang dipimpin generasi muda di Nepal sejak awal September 2025 terus mengguncang fondasi politik negara Himalaya tersebut. Dimulai dari pemblokiran 26 platform media sosial oleh pemerintah, protes lantas berkembang menjadi gerakan nasional menentang ketidakadilan sosial, gaya hidup mewah elite politik, hingga menuntut pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli yang akhirnya mundur dari jabatannya.
Namun, di balik tuntutan perubahan, muncul spekulasi besar mengenai keterlibatan kekuatan asing. Amerika Serikat dituduh sebagian kalangan sebagai aktor yang memanfaatkan momentum untuk mengikis pengaruh Tiongkok di Nepal, sementara Beijing menunjukkan kekhawatiran serius terhadap stabilitas negara tetangga strategisnya itu.
Pengamat Hubungan Internasional Sentral Politika, Muhammad Rizal Rumra menegaskan bahwa meski tuduhan terhadap Amerika Serikat mengemuka, akar persoalan tetap berasal dari dalam negeri Nepal. Menurutnya, pemblokiran media sosial hanya menjadi pemicu dari kekecewaan yang telah lama menumpuk terhadap korupsi, oligarki, dan ketidakadilan sosial.
“Fenomena unjuk rasa Gen Z Nepal merupakan ekspresi dari akumulasi kekecewaan publik terhadap elite politik. Media sosial hanyalah pemantik, bukan penyebab utama. Ini reaksi atas struktur kekuasaan yang tidak akuntabel dan minim keadilan,” jelas Rizal.
Krisis kepercayaan ini mencerminkan ketidakmampuan pemerintah memenuhi aspirasi publik, terutama generasi muda yang semakin melek digital dan terbuka terhadap ide-ide demokrasi.
Meski faktor domestik kuat, tudingan terhadap Amerika Serikat tetap mencuat, terutama karena kehadiran proyek Millennium Challenge Corporation (MCC) senilai USD 500 juta yang sejak awal menuai kontroversi. MCC dipandang sebagian pihak sebagai bentuk “bantuan bersyarat” yang membuka celah intervensi kebijakan.
Rizal menilai bahwa tuduhan campur tangan asing sering kali dimanfaatkan elite politik domestik untuk mengalihkan perhatian dari tuntutan reformasi. Namun, ia juga mengakui adanya kemungkinan Amerika Serikat “memanfaatkan” situasi internal untuk mendorong perubahan politik.
“Tidak harus ada tentara Amerika Serikat mendarat untuk disebut intervensi. Cukup dengan memfasilitasi jaringan NGO, pelatihan aktivis, atau framing media sosial. Pola ini mirip dengan gerakan di Ukraina, Georgia, atau Hong Kong,” papar Rizal.
Ia menambahkan, meski klaim bahwa MCC membuka jalan bagi militer Amerika Serikat telah dibantah media dan pemeriksa fakta di Nepal, persepsi publik tetap terbelah, menjadikan MCC simbol kontroversial tentang campur tangan asing.
Aksi Gen Z Nepal berlangsung masif, rapi, dan konsisten, bahkan setelah sebagian besar media sosial diblokir. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana mobilisasi bisa begitu cepat. Menurut Rizal, kemiripan dengan pola gerakan pro-demokrasi di berbagai belahan dunia menambah kecurigaan adanya dukungan eksternal, baik melalui jaringan aktivis internasional maupun lembaga donor.
“Persepsi tentang intervensi asing biasanya terbentuk lewat narasi, simbol, dan framing media. Isu asing kerap dijadikan ‘kambing hitam’, tapi juga tidak bisa diabaikan sepenuhnya,” kata Rizal.
Sementara itu, Tiongkok yang selama ini menjadikan Nepal mitra penting dalam inisiatif Belt and Road Initiative (BRI), memandang krisis ini dengan penuh kekhawatiran. Nepal berfungsi sebagai negara penyangga antara Tiongkok dan India, serta memiliki arti strategis dalam menjaga stabilitas Tibet.
“Bagi Beijing, kekacauan di Nepal bukan hanya soal investasi. Ini juga terkait keamanan perbatasan dan potensi dampak terhadap Tibet. Jika pemerintahan baru condong ke Amerika Serikat, pengaruh Tiongkok di Asia Selatan bisa terkikis signifikan,” ujar Rizal.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Era Presiden Biden, Antony J. Blinken pernah mengatakan secara terang-terangan menyebut Nepal sebagai mitra yang “sangat berharga” di kawasan Indo-Pasifik. Menurutnya, kerja sama dengan Nepal adalah bagian dari upaya memastikan terciptanya kawasan yang “bebas, terbuka, aman, dan sejahtera”. Bagi Rizal, pernyataan itu bukan sekadar basa-basi diplomatik. Ia menilai hal tersebut merupakan sinyal kuat bahwa Washington ingin menarik Nepal masuk lebih jauh ke dalam kerangka Strategi Indo-Pasifik (IPS) yang sejatinya didesain untuk membendung pengaruh Tiongkok.
“Jika kita lihat dokumen resmi strategi Indo-Pasifik Amerika Serikat sejak 2019, Nepal jelas disebut sebagai salah satu negara mitra. Ini bukan kebetulan. Posisi Nepal yang berada di antara India dan Tiongkok menjadikannya sangat strategis bagi Washington. Jadi, ketika Blinken menyebut Nepal mitra berharga, itu adalah pesan politik yang serius, bukan sekadar retorika,” kata Rizal.
Rizal menambahkan, keterlibatan AS di Nepal tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan bagian dari pola lama. Sejak era Perang Dingin, Amerika sudah menjadikan Nepal sebagai negara target bantuan untuk mencegah pengaruh Uni Soviet dan komunisme. Data dari Rencana Pembangunan Lima Tahun Nepal menunjukkan bahwa antara 1962-1965, bantuan Amerika Serikat menyumbang 46% dari seluruh bantuan luar negeri yang diterima Nepal. Setelah Perang Dingin berakhir, angka itu turun drastis, tetapi kini naik kembali seiring meningkatnya investasi Tiongkok melalui BRI.
“Sejarah ini menunjukkan bahwa bantuan Amerika Serikat bukanlah bentuk kepedulian, melainkan alat geopolitik untuk memastikan Nepal tidak jatuh ke dalam orbit kekuatan lain,” jelasnya.
Dengan demikian, Apa pun bantuan dan strategnya, kepentingan utama Amerika Serikat di Nepal adalah untuk membendung pengaruh Tiongkok di kawasan tersebut, sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh mantan Perdana Menteri Nepal, Puspa Kamal Dhala “Prachand” dalam dokumen politik konvensi partainya bahwa untuk menghalangi Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik, Amerika Serikat berencana menjalin kemitraan militer khusus dengan negara-negara di kawasan tersebut untuk menambah dan memperkuat pangkalan militer di berbagai negara.
“Sejarah dan konteks bantuan Amerika Serikat saat ini dapat membenarkan bahwa bantuan apa pun yang diberikan oleh mereka pada akhirnya ditujukan untuk melawan Tiongkok,” tegas Rizal.
Makanya, Beijing disebut telah mengirim pesan diplomatik ke Kathmandu untuk mengingatkan pentingnya menjaga hubungan bilateral dan menghindari “permainan kekuatan asing”.
Oleh karena itu, Rizal memperingatkan bahwa jika tuduhan campur tangan asing terus dibiarkan berkembang tanpa bukti jelas, hal ini berisiko memicu ketegangan diplomatik dengan Amerika Serikat, merusak hubungan dengan Tiongkok, bahkan menarik India dalam persaingan regional.
“Nepal berada di tengah tiga kekuatan besar. Jika salah langkah, negara ini bisa bernasib seperti Suriah atau Ukraina, yang terjebak dalam krisis permanen akibat perebutan pengaruh,” tegas Rizal.
Namun, ia juga melihat peluang. Jika pemerintah baru mampu merespons aspirasi publik dengan reformasi nyata dari pemberantasan korupsi, regulasi digital yang adil, hingga memperluas partisipasi generasi muda. Maka, Nepal bisa keluar dari krisis ini dengan demokrasi yang lebih kuat.
Pada akhirnya, menurut Rizal, yang terpenting bukan hanya siapa yang memulai, tetapi siapa yang diuntungkan.
“Jika perubahan ini membuat Nepal lebih transparan, adil, dan demokratis, itu kemenangan rakyat. Tapi jika hanya menggeser ketergantungan dari satu kekuatan besar ke kekuatan lain, maka kedaulatan Nepal tetap dipertaruhkan,” pungkasnya.
Hingga berita ini ditulis, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Kathmandu belum mengeluarkan pernyataan resmi, sementara Tiongkok menegaskan bahwa mereka “menghormati kedaulatan Nepal dan tidak mencampuri urusan internal.”